Bismillaah..
Hai, apa kabar? Pertama, aku ingin berterima kasih. Iya, terima kasih ya sudah menjalani hidupmu dengan baik sampai hari ini. Terus berjalan, berlari dan berjuang ya. Kali ini, aku ingin menuangkan kisah perjalanan kuliah tingkat akhirku di sini, supaya abadi dan menjadi pengingatku agar selalu bersyukur.
Dengan bahagia dan penuh rasa syukur, akhirnya aku menyelesaikan satu babak dalam hidupku, aku jadi sarjana. Sampai detik aku menulis blog ini, aku masih tak percaya dan rasanya seperti mimpi bisa menyelesaikan jenjang S1 tepat waktu. Betapa tidak? Perjalananku menyelesaikan TA-ku menurutku sangat berliku dan banyak aral melintangnya. Maaf sedikit lebay :’) awalnya, aku menganggap topik penelitianku sangat simpel dan aku yakin mampu lulus kurang dari 4 tahun. Ternyata…..
Jadi, kebanyakan teman-temanku join projek dosen dan bekerja secara tim, tapi aku memutuskan untuk melakukan penelitian dengan topik yang aku usung sendiri. Long story short, penelitianku harus dilakukan di luar kampus (maksudnya di kampus universitas lain) karena memang alat yang tidak bisa dipinjam. Aku memulai penelitianku bulan Februari 2019. Awalnya aku bisa menghandle semuanya sendiri, kecuali ketika harus mengangkut beberapa barang dari lab kampusku ke kampus tetangga. Lalu, apa yang tidak bisa aku handle sendiri? Beban mental.
Aku sempat sangat frustrasi karena uji pendahuluan yang terus menerus gagal padahal penelitian intiku hanya butuh waktu dua belas sampai empat belas hari saja. Bayangkan, sudah sampai di bulan Mei dan aku belum juga menyentuh penelitian intiku yang artinya aku belum punya data. Pertanyaan-pertanyaan simpel seperti “sudah sampai mana penelitiannya?” “sudah diolah datanya?” “kapan sidang?” menjadi pertanyaan-pertanyaan yang malah membuatku merasa down.
Belum lagi, vibe yang aku rasakan di tempat penelitianku kurang mendukung psikisku. Orang-orang asing, budaya kampus yang berbeda dan segala hal lain yang sulit aku terima yang membuat aku semakin merasa tidak nyaman. Aku sempat berada di posisi merasa tidak mampu lagi berjalan, tapi menyerah pun bukan sama sekali pilihan.
Dua bulan pulang-pergi kosan-kampus tetangga sendirian membuat aku banyak merenung dan berpikir. Bukan ke arah positif tapi ke arah negatif. No, bukan pikiran menyerah dan bunuh diri. Tapi pikiran negatif seperti memikirkan segala kemungkinan buruk yang sama sekali tidak solutif bagi masalahku saat itu. Awalnya aku tertutup pada siapapun, bahkan dosen pembimbingku. Tapi lama-lama aku merasa toksik bagi diriku sendiri. Aku mesti bercerita dan membuka selebar mungkin diskusi-diskusi solutif dengan setidaknya orang-orang di lingkaran kecilku.
Kenapa tidak dari awal saja meminta bantuan dan bercerita? Pertama, aku malu untuk menceritakan masalahku karena ternyata aku manusia introver. Kedua, teman-temanku sedang sibuk mengerjakan peneltiannya juga, aku enggak ingin menambah masalah mereka. Padahal aku salah, setelah aku bercerita tentang masalah penelitianku, selain bebanku yang berkurang, mereka pun sangat terbuka dan menyumbang sedikit banyak ide dan tenaga.
Tidak banyak yang bisa aku ceritakan, dan aku memang menyimpan kenangan detail perjalananku hanya dengan orang-orang terdekatku saja. Namun, ada beberapa hal yang menjadi highlight dalam perjalanan TA-ku ini. Pertama, sesulit apapun yang sedang dihadapi aku harus tetap berjalan dan membuat progress karena banyak harapan orang tersayang di pundakku, menyerah bukan pilihan. Kedua, aku harus melepaskan apapun yang tidak seharusnya aku miliki atau aku capai, sungguh rencana Allah lebih baik dan lebih indah. Ketiga, menutup diri dan merasa mampu mengerjakan apapun sendirian itu sombong. Allah tidak serta merta memberi masalah tanpa solusi yang bisa kita dapatkan di sekitar. Inna ma’al-usri yusroo (7: 94), sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
Ya mungkin ini juga menjadi jawaban kenapa selempangku bertuliskan Strong Girl, S. Si? Karena si bungsu manja ini sudah mampu keluar dari zona nyamannya untuk menyelesaikan tanggung jawabnya, tanpa menyerah walau sudah berkali-kali patah. Semoga sematan Strong Girl akan senantiasa menjadi doa untukku menghadapi tantangan hidup selnajutnya.
Terima kasih untuk semua orang yang sudah membantuku, tahu maupun tidak tahu bagaimana perjalananku. Tanpa Allah melalui perantara kalian, aku tidak akan sampai di sini. Alhamdulillah..